Analogi Neraca

Lukisan monokrom terpajang di sisi kanan, dan di bawahnya ada satu meja dengan satu piringan hitam yang masih berfungsi dengan baik. Memutar musik yang entah terkenal di tahun berapa. Lalu di sampingnya terdapat jam pasir yang berukuran kecil. Tidak hanya itu, banyak guci-guci tertata rapi di sudut ruang yang menambah kesan kuno di toko itu.

"Ini ada peti antik, kamu mau?"

Aku menggeleng, "Sejak kapan kamu suka kesini?"

"Sejak aku menemukan analogi dari sebuah benda yang aku cari."

Aku terdiam sejenak, 

"Bisa pilihkan satu benda yang pas untukku?"

Dia tersenyum sambil menggenggam tanganku, berjalan menuju sudut ruang yang disana terdapat satu meja dengan banyak benda antik kecil namun yang tertangkap jelas oleh kedua retinaku adalah kotak musik.

Batinku menebak "pasti kotak musik."

"Ini yang pas untuk kamu" ujarnya sambil menunjuk benda itu. 

"Neraca? Untuk apa? Aku bukan penjual emas--" aku tertawa kecil, aku percaya dia sedang bercanda. 

"Coba lihat neraca ini baik-baik"

Dia menambahkan beban yang sama pada neraca itu.

"Bagaimana? Seimbang?"

Aku masih tak mengerti maksudnya, aku sedikit mengangguk dengan mimik wajah mengambang.

"Bagaimana jika begini" dia mengganti benda di salah satu cawan bebannya.

"Tidak seimbang?" tanyaku memastikan.

"Menjalani hubungan itu sama dengan menimbang di sebuah neraca. Anggaplah diri kamu ada disini" dia menyentuh benda di satu cawan beban yang ada di sebelah kanan.

"Ketika kamu merasa bebanmu terlalu berat untuk mengimbanginya, hanya ada dua pilihan yang dapat kamu lakukan untuk menjadikannya kembali seimbang."

"Apa itu?" jawabku begitu ingin tahu.

"Kamu hanya perlu mengurangi beratmu agar seimbang dengannya atau menambah beratnya agar sama denganmu"

Keningku seketika mengerut,

"Lakukan seperti apapun yang dia lakukan padamu, tidak perlu terlalu berlebihan. Atau, kamu buat dia agar dia bisa memiliki berat rasa sepertimu."

"Tau apa kamu tentang aku dan dia? Darimana kamu bisa menyimpulkan bahwa dia tak bisa jadi penyeimbangku?! Kau tau apa tentang aku dan dia?!" sanggahku.

Kedua mataku seolah menerkam wajahnya. Entah kenapa aku mendadak geram dengan pernyatannya yang kilat itu. Pernyataan yang menyambar begitu cepat hingga menghambat peredaran darahku.

Dia tersenyum ringan menatapku, "mudah saja, jika memang tidak seperti itu? Tidak mungkin saat ini kamu dengangku, apalagi untuk memilihkan benda yang pas untuk kamu. Memang itu tugasku?

Mendengar kalimatnya yang begitu lugas, lidahku kelu. Kedua bibirku dibuat menganga olehnya. Jangankan menjawab, satu kata saja tak mampu aku ucapkan.

"Kenapa sekarang kamu yang diam? Kamu marah?" tanya dia begitu santai. 

"Sial, kau tau? Aku malu! Iya, memang benar seharusnya bukan kamu yang ada disini! Harusnya dia! Tapi, sayangnya aku gak tau di bumi bagian mana dia ada! 

"Iya, memang aku sedang marah! Aku marah, karena kamu bisa membaca semuanya!"

Umpatan demi umpatan terus terucap dalam batinku.

"Sudahlah... aku tidak bermaksud apa-apa, ini ku bayar untukmu. Anggap saja ini kenang-kenangan terakhir dariku sebelum aku kembali ke kotaku--"

Aku masih terdiam. Namun, diamku kali ini tidak lagi tentang amarahku yang sedang ku redam. Melainkan diamku kali ini, lebih pada mengerti.

Lalu ia menyodorkan neraca antik itu padaku, "jadilah penyeimbang yang baik untuknya".

Aku menghela nafas dengan panjang,

"Terima kasih sudah memberiku pesan manis di satu tahun yang lalu, yaa... meskipun dengan cara yang kurang manis" aku tertawa kecil sambil meletakkan kembali neraca antik itu di meja belajarku.

----

Komentar

Postingan Populer