Distorsi Dalam Rasa

Harga mati untuk sebuah rasa adalah pengorbanan.

Tidak mudah mencegah hilangnya estetika diri dalam sebuah lingkaran rasa. Dimana semua yang menjadi corak diri perlahan harus hilang demi sebuah rasa. Memaksa diri untuk berkamuflase agar semuanya selalu baik-baik saja karena esensi dalam diri manusia tidaklah sama, seperti kontradiksi dalam kata.

Demi melihat seseorang yang di cintai bahagia, tidak jarang seseorang menjadi rela mengubah sosok diri yang sesungguhnya menjadi sosok yang diinginkan oleh orang yang dicintainya. Diiringi dengan hal-hal yang membuat seakan kita lah yang pantas menjadi alasan dibalik tawanya. Meski disana kita dibuat tidak mengerti tentang diri kita lagi, bahkan bisa dikatakan kita hanya menumpang bahagia pada diri yang kita sayangi. Kita berbahagia dengan bahagianya, bukan kebahagiaan kita sendiri.

Jika sudah demikian, apakah cinta yang saling akan terbentuk? Cinta yang berakarkan sebuah rasa, tumbuh perlahan dan berharap bisa memberi makna. Bukankah memang definisi cinta yang sebenarnya adalah tentang saling, beriring, dan tidak digiring. Meski pada kenyataannya, cinta yang saling rupanya hanya sebuah ilusi.Terkalahkan oleh ego yang selalu ingin dituruti, bukan saling memahami. Semua itu kembali lagi ke harga mati sebuah rasa, yaitu pengorbanan. Membuat diri 
terus terbelenggu dalam  kebahagiaan satu hati, bukan kedua hati.

Ketika rasa mulai mengemban, seakan kita membiarkan diri untuk terperangkap di dalam sana. Membiarkan semuanya terjadi begitu saja lantaran rasa yang terlalu besar untuknya. Kita biarkan diri sendiri menumpang bahagia. Berpura-pura bahagia atas segala yang terjadi di dalam sana. Padahal, kita tak merasa apa-apa. Hanya dia yang bahagia.

Meski sesekali terbersit ingin meminta giliran untuk dicicipi rasa bahagia, tetapi tetap saja rasa yang menghalanginya. Bahagianya, lebih dari segalanya.



Komentar

Postingan Populer